Membenahi Lahan yang Rusak di Lereng Merapi
KAMI tidak tahu apa yang namanya merusak lingkungan, tetapi pekarangan milik saya ini kaya akan pasir. Dan itu artinya uang bagi saya, karena itulah yang menguntungkan," kata Sarto, warga Kecamatan Cangkringan yang ditemui Kompas, Selasa (26/8) ketika ditanya dampak penggalian pasir di pekarangan rumahnya.
Entah sejak kapan tanah penduduk warga Cangkringan dan juga warga seputarnya, berisi timbunan pasir yang sangat memancing warga menambangnya. Yang pasti, letusan Gunung Merapi menebar kandungan pasir di sungai-sungai atau di pekarangan penduduk. Mencari pasir di pekarangan sendiri adalah pekerjaan sambilan yang mendatangkan uang tambahan yang menggiurkan.
Namun, setelah penggalian pasir di pekarangan milik pribadi itu, yang tersisa hanya terowongan-terowongan atau kontur tanah yang tak lagi teratur. Praktis tanah pekarangan itu tak lagi bisa dimanfaatkan untuk apa pun setelah diambil pasirnya. Penduduk tak tahu harus berbuat apa, karena itu mereka membiarkan tanahnya tak terawat lagi. Tanah bekas penggalian pasir terbiarkan merana.
Dalam kondisi itulah Pemda Kabupaten Sleman, Yogyakarta, yang banyak memiliki lahan-lahan merana setelah digali pasirnya oleh masyarakat, memiliki alternatif pemikiran, yaitu menghidupkan bekas tanah galian pasir menjadi lahan pertanian. "Konsep itu disebut pertanian agrogeologi," kata Sabaruddin Wagiman Tjokrokusumo, Kepala Bidang Teknologi Konservasi dan Pemulihan Kualitas Lingkungan dari Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Menurut Sabaruddin, agrogeologi merupakan studi tentang proses terjadinya pupuk alami dari proses pembusukan atau kerusakan batuan karang vulkanis atau sejenis batu basal sebagai akibat tekanan iklim yang menghasilkan unsur penting, seperti karbon, hidrogen, oksigen, fosfor, kalium, kapur, belerang, besi, seng, dan tembaga. Di lingkup Kabupaten Sleman, yang setiap tahun menerima 1,7 juta ton muntahan Gunung Merapi, merupakan berkah yang bisa dimanfaatkan dalam pertanian berbasis agrogeologi.
Bambang, warga Kecamatan Cangkringan, menyebutkan, di Kecamatan Cangkringan ada 20 lebih tempat penambangan pasir yang telantar dan terbiarkan merana. "Kerusakan lingkungan di wilayah ini cukup parah, maka dengan adanya proyek agrogeologi itu, rasanya tepat untuk membenahi lingkungan Merapi. Saat ini lereng Merapi merupakan pusat sumber air bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kalau ekosistem Merapi rusak, berarti bahaya besar bagi warga DIY," tandasnya. (top).
Di posting www.kompas.com
Selasa, 26 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar