Selasa, 02 September 2008

Melon
(Melon (Ingg.), Cucumis melo (Latin)
Asal dan Distribusi:
• Tanaman melon ( Cucumis melo L ) termasuk kedalam famili Cucurbitaceae, genus Cucumis. Tanaman ini belum diketahui dengan pasti darimana asalnya namun berdasarkan penyebaran jenis liarnya, mungkin afrika merupakan daerah asal-usulnya.
• Di kawasan Asia tanaman ini merupakan tanaman yang masih baru, namun demikian sekarang sudah menyebar ke beberapa negara seperti Cina, India, Persia dan Rusia Selatan.
• Buah melon dipanen setelah matang benar, yang diperkirakan sesudah 3-4 bulan sejak tanam, daging buah melon mengandung 92,1 % air, 0,50 % protein, 0,3 % lemak, 6,2 % karbohidrat.
Syarat Tumbuh
• Tanaman melon dapat tumbuh pada daerah tropik dan subtropik, tanaman ini memerlukan sinar matahari penuh, sehingga tidak cocok ditanam didaerah lembab dan ternaung. Di daerah beriklim lembab selain banyak penyakit juga perkembangan buahnya kurang baik, tanaman ini tumbuh baik pada tanah berlempung, dengan pH sekitar netral.
• Pemangkasan ujung tanaman tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah buah yang dihasilkan. Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian 300 – 400 m dpl, suhu yang diperlukan sekitar 25-35 0C, suhu tinggi mutlak diperlukan pada saat pematangan buah.
• Melon merupakan tanaman semusim tumbuh merambat dengan daun lebar berukuran 10-20 cm yang muncul pada batang yang sekaligus sebagai pelindung bunga atau buah, bunganya hermafrodit, mampu menghasilkan 1-6 buah melon /tanaman. Buah ini matang setelah 6 minggu sesudah mekar.
• Melon yang dibudidayakan dikelompokkan dalam 2 tipe utama yaitu Netted melon dan Winter melon. Netted melon punya buah dengan permukaan luar yang kasar, membentuk garis-garis seperti jala, sedangkan tipe Winter melon mempunyai buah dengan permukaan yang halus, tidak membentuk garis-garis seperti jala.
Penyerbukan dan Pembentukan Buah
• Tanaman bersifat polimorfik, spesiesnya ada yang berbunga jantan, berbunga betina dan berbunga hermafrodit (sempurna). Walaupun tanaman ini menghasilkan bunga sempurna dengan putik dan benang sari , penyerbukan sendiri (self pollination) tidak dapat terjadi. Penyerbukan buah harus melalui penyerbukan silang antara bunga jantan dan bunga sempurna dari tanaman yang sama atau antar tanaman.
• Bunga sempurna akan muncul jika batang utama telah mencapai panjang 60 cm dan terbentuk ruas I dan II dari cabang primer. Bunga jantan juga terus menerus terbentuk sehingga didapatkan perbandingan antara bunga jantan dan bunga sempurna sekitar 10 : 1. Dari beberapa bunga sempurna hanga sebagian kecil saja yang menjadibuah dan berkembang menjadi buah yang dapat dipanen.
• Sehubungan dengan penyerbukan ada faktor internal yang mengatur keberhasilan pembentukan buah. Hal ini menyebabkan adanya pergiliran atau pergantian dalan pemasakan buah.
Manggis
(Mangosteen (Ingg.), Garcinia mangostana L. (Latin))
Asal dari kepulauan Malaya termasuk keluarga Guttiferae. Beberapa species membentuk buah yang dapat dimakan, tetapi tidak seenak buah manggis. Kecuali buah, bagian tanaman lain juga sangat bermanfaat seperti misalnya kulit buah, kulit kayu, akar dan lain bagian yang dapat dimanfaatkan sebagai obat seperti diare, obat cacing, tumor pada rongga mulut. Kulit buah manggis juga merupakan komoditas ekspor dari Singapura ke Cina.
Deskripsi
• Tinggi tanaman 10-25 m. Mahkota bunga ada yang bulat, ada yang seperti piramid kompak meruncing keatas. Tanaman ini sukar dikembangkan, terutama karena pertumbuhannya yang sangat lambat dan memerlukan beberapa tahun agar sistem perakaran dapat benar-benar efektif.
Syarat Tumbuh
• Tumbuh baik di daerah yang suhunya tinggi, lembab, curah hujan tinggi merata sepanjang tahun. Tidak tahan pada angin laut. Suhu optimum untuk pertumbuhannya berkisar antara 220-230C. Tanaman muda membutuhkan naungan yang rimbun baik di dataran rendah sampai ketinggian 800 m dengan curah hujan 1500-2500 mm/tahun. Manggis ini sangat baik tumbuh pada tanah yang kaya akan bahan organik dengan aerasi yang cukup baik. Umumnya tumbuh di dataran rendah terutama di pulau Jawa terdapat di selatan Jawa Barat, bagian utara Jawa Barat sekitar Serang, Tangerang, Cibinong, Purwakarta dan Subang, bagian selatan DKI Jakarta, Jawa Tengah sekitar Bumiayu, Kebumen, sebelah selatan Batang, Kendal dan Ungaran. Di Jawa Timur manggis dapat dikembangkan di daerah basah sekitar G. Semeru ke barat sampai lereng G. Kawi dan ke timur sampai lereng G. Lamongan, sekitar Pacitan-Blitar dan lereng selatan G. Raung
Perbanyakan
 Perbanyakan dengan biji Manggis dapat diperbanyak dengan biji tapi bukan merupakan perbanyakan secara generatif, karena biji manggis terbentuk secara apomiktis. Biji mempunyai viabilitas yang rendah dan cepat mengalami kemunduran. Biji harus segera dikecambahkan segera setelah diambil (dikeluarkan) dari buah. Apabila tetap berada dalam buah, biji manggis tetap bertahan viabilitasnya selama 3-5 minggu. Makin besar bijinya makin baik pertumbuhan tunasnya.
 Perbanyakan secara vegetatif Perbanyakan tanaman manggis secara vegetatif dapat berupa setek, cangkok,penempelan, penyambungan dan penyusuan. Cara yang paling berhasil dilakukan dengan cara penyambungan, yaitu sambung pucuk. Cara ini lebih hemat dalam menggunakan cabang entris (batang atas). Sebagai entris digunakan tunas ujung yang masih muda daunnya tetapi telah cukup keras. Sebagai batang bawah digunakan bibit semai yang sudah berumur 2 tahun atau yang diameter batangnya kurang lebih 0,5 cm, mempunyai kulit batang berwarna hijau. Metode penyambungan celah lebih banyak berhasil daripada metode sisi.
Pembibitan
 Pembibitan perlu dipilih lokasi yang cocok, yaitu teduh dan tidak jauh dari sumber air. Tanah untuk pesemaian diolah cukup dalam, dan dibuat bedengan selebar 1,2 m, tinggi bedengan kira-kira 30 cm. Diantara bedengan dibuat selokan pembuangan air. Tanah diberi pupuk kandang sebanyak 10 kg/m3 apabila biji akan disemai dalam kantong plastik maka media yang baik adalah campuran tanah kebun, pasir dan pupuk kandang dengan perbandingan bagian 1:1:1. Apabila biji disemaikan dalam bedengan, maka biji ditanam pada jarak tanam 40 cm x 30 cm , sedalam 0,5 - 1,0 cm. Pesemaian yang menggunakan kantong plastik, cukup menanam 1 biji dalam 1 kantong plastik. Mulai umur 1 bulan, bibit perlu mendapat pupuk. Setiap bibit diberi 2-3 gram campuran urea dan TSP. Pemberian pupuk diulang sebulan sekali.
Pemeliharaan Tanaman
 Untuk pertumbuhan vegetatif yang baik, satu bulan setelah tanam diberi 100-200 g urea/pohon. Pemberian diulang setiap 6 bulan sekali ditambah 20-30 kg pupuk kandang. Untuk membantu mempertahankan kesehatan tanaman apabila berbuah nanti, maka untuk bibit sambungan mulai umur 4 tahun diberi pupuk NPK, sebanyak 0,5 kg/pohon. Pemberian pupuk NPK juga diulangi setiap 6 bulan sekali, setelah pohon dewasa perlu diberikan pupuk lebih banyak (3,5kg/pohon).
Panen
 Saat panen yang baik apabila kira-kira 25% dari permukaan kulit buah sudah berwarna ungu. Pemetikan buah dilakukan dengan mengikutsertakan tangkai buah, supaya dapat bertahan lebih lama.
 Buah yang baik kemudian dikelompokkan atas dasar ukuran buah yaitu :
o Mutu super yaitu diameter buah 6,5 cm
o Mutu I yaitu diameter buah 5,5-6,5 cm
o Mutu II yaitu diameter buah 5,5 cm
 Untuk perdagangan internasional, mutu buah ditentukan oleh beratnya. Pasar Malaysia dan Hongkong menghendaki berat minimum buah 65 gr sedangkan pasaran Jepang minimum 80 gr. Buah manggis yang dipetik dengan mengikutsertakan tangkainya, pada suhu kamar, buah yang sehat dapat tetap baik sampai 2-3 minggu setelah panen. Penyimpanan pada suhu 4-60C dapat mempertahankan kualitas buah sampai 49 hari. Pada suhu penyimpanan 9-120C, buah dapat bertahan 33 hari.
Mangga
(Mango (Ingg.), Mangifera indica L. (Latin))
Deskripsi
• Tanaman mangga tumbuh dan berproduksi optimal pada daerah dengan ketinggian 0-500 m dpl dengan suhu harian 26 o - 28 o C. Apabila suhu udara di atas 42 o C akan merusak tanaman. Curah hujan optimal 1000-2500 mm per tahun. Pembungaan pada tanaman mangga memerlukan musim kemarau yang jelas, bulan kering 4- 6 bulan (curah hujan per bulan kurang dari 60 mm), dengan jumlah bulan basah kurang dari 7 bulan (curah hujan per bulan lebih dari 100 mm), musim hujan di luar musim berbunga. Daerah ini termasuk tipe C, D, dan E menurut klasifikasi Schmid dan Ferguson.
• Dari potensi produksi 120 kg/pohon, tanaman mangga di Indonesia hanya menghasilkan 40 kg/pohon. Produktivitas per tahun beberapa mangga unggul antara lain mangga Golek-31 sebesar 52,3 kg/pohon, mangga Manalagi-69 sebesar 36,5 kg/pohon dan mangga Arumanis-143 sebesar 54,7 kg/pohon.
• Musim panen mangga berlangsung dari bulan Agustus sampai Desember. Musim panen mangga terjadi seragam di Jawa dan Bali. Pada bulan November terjadi panen raya mangga. Harga buah mangga cenderung menurun setelah panen raya. Hal ini disebabkan preferensi konsumen beralih ke jenis buah-buahan yang lain. Harga mangga akan menaik lagi menjelang panen bersamaan menaiknya preferensi konsumen. Pembungaan di luar musim menjadi kurang ekonomis bila belum didapatkan pemasaran yang memerlukan suplai kontinyu.
• Untuk menghasilkan buah mangga yang berproduksi tinggi dengan kualitas yang baik serta pelaksanaan penanganan pasca panen dan pemasarannya dilakukan hal-hal sebagi berikut :
Budidaya
• Bibit yang digunakan adalah bibit yang sehat dengan tinggi sekitar 50 cm (berusia 6-8 bulan). Bibit ditanam pada lubang tanam berukuran 60 x 60 x 60 cm dengan jarak tanam 5 m x 5 m. Setelah tanaman mencapai tinggi 1 m batang utama dipangkas dengan menyisakan tanaman setinggi 80 cm dari permukaan tanah. Tunas yang muncul dipelihara 3-4 buah yang baik (sudut 90 – 120 o) untuk menghasilkan cabang primer. Pemangkasan kedua dilakukan 3-6 bulan setelah pemangkasan pertama/tinggi tunas mencapai 1 m seperti pemangkasan kedua untuk menghasilkan cabang sekunder. Begitu selanjutnya hingga pemangkasan ketiga untuk menghasilkan cabang tersier sehingga diperoleh pola percabangan 1-3-9-27. Produksi buah mangga dimulai dari percabangan tersier.
• Pembungaan di luar musim bisa dilakukan dengan menggunakan zat pengatur tumbuh seperti KNO3, CEPA, dan Paklobutrazol. Namun seringkali pembungaan di luar musim ini menghasilkan buah dengan mutu rendah.
• Buah yang terbentuk, setelah berumur 30 – 40 hari dibungkus dengan kertas setelah sebelumnya disemprot dengan pestisida.
• Tanaman yang ukuran tajuknya melebar luas dan tinggi dipangkas berat hingga ukuran tajuk 1,75 m dengan tinggi 3 m. Ukuran tajuk pohon sangat penting karena akan mempengaruhi kemudahan pemeliharaan serta pemanenan buah. Tanaman yang tua juga dipangkas berat sehingga tinggal tersisa tunggulnya saja setinggi 1-1,5 m. Pemangkasan seperti ini bertujuan untuk meremajakan pohon sehingga tidak perlu dilakukan pembongkaran tanaman.
Pemanenan
• Pemanenan buah mangga dilakukan ketika telah memenuhi ciri-ciri buah mangga yang matang, yaitu :
o Adanya lapisan lilin buah
o Bentuk buah sudah padat penuh terutama pada bagian ujung
o Bila buah diketuk menghasilkan nada tingi
o Buah akan tenggelam bila dimasukkan ke dalam air
o Tangkai buah kering
• Pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari pada jam 07.00 – 09.00 atau pada sore hari jam 16.00 karena produksi getah rendah.
Pencucian
• Buah mangga yang telah dipanen dicuci untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang menempel terutama sisa-sisa getah yang menenempel di kulit buah. Pemakaian pestisida (benomyl) pada saat pencucian dilakukan untuk mencegah serangan hama dan penyakit pasca panen. Pencucian dilakukan dengan cara ‘hot water dip”, yaitu pertama buah di cuci dengan air dingin lalu direndam dalam air panas.
Sortasi dan Grading
• Sortasi dan grading dilakukan untuk memperoleh buah dengan ukuran, tingkat kematangan dan kualitas yang seragam. Sortasi bertujuan untuk memisahkan buah yang layak jual dan tidak layak dijual agar diperoleh buah yang seragam bentuk, warna, ukuran dan kematangannya sedangkan grading dilakukan untuk memperoleh buah yang seragam ukurannya (besar, sedang, kecil atau sangat kecil).
• Sortasi dan grading sangat penting untuk dilakukan agar buah yang dipasarkan terjaga mutunya. Buah yang rusak akan mempercepat kerusakan buah yang lainnya dalam kemasan. Buah yang tidak lolos sortasi karena kulit buah yang tidak mulus atau buah yang salah bentuk masih dapat dijual ke pasar-pasar tradisional ataupun di jual dalam bentuk kupasan (slice).
• Kriteria Spesifikasi Grading Buah Mangga di Indonesia Menurut Jenis/Ukuran
Varietas Besar
(g) Sedang
(g) Kecil
(g) Sangat Kecil (g)
Arumanis > 400 350 – 400 300 – 349 250 – 299
Golek > 500 450 – 500 400 – 449 350 – 399
Gedong > 250 200 – 250 150 – 149 100 – 149
Manalagi > 400 350 – 400 300 – 349 250 – 299
• Untuk keperluan ekspor terdapat klasifikasi grading tersendiri untuk buah mangga. Buah mangga dibagi menjadi tiga kelas (super, A dan B).
Klasifikasi Ukuran
Kelas Super > 500 g
Kelas A 400 – 500 g
Kelas B 300 – 400 g
Pengemasan
• Buah mangga tahan selama 7 hari setelah masak. Pengemasan yang baik sangat dibutuhkan untuk mencegah kerusakan/susut buah pasca panen terutama saat transportasi/distribusi. Pengemasan dilakukan untuk mencegah benturan, menahan goncangan, mengurangi gesekan, melakukan penumpukan dan mengatur suhu. Kemasan keranjang bambu dapat memuat buah hingga 25 kg, kemasan peti kayu mampu memuat sebanyak 30 kg buah.
Penyimpanan dan Pemeraman
• Mangga termasuk buah klimakterik, yaitu buah yang memiliki pola respirasi yang di awali peningkatan secara lambat, kemudian meningkat pesat dan menurun setelah mencapai puncak. Buah klimakterik dipanen pada saat matang namun belum masak. Pemeraman dilakukan untuk memasakkan buah. Hasil pemeraman kurang baik apabila buah dipetik belum waktunya (belum masak). Penyimpanan buah mangga dibutuhkan penanganan ekstra karena produksi etilen buah yang cukup tinggi sehingga dapat mempercepat kemasakan buah yang tidak diinginkan.
Pengolahan
• Buah mangga tidak melulu hanya dikonsumsi sebagai buah segar, namun juga dapat dijadikam makanan olahan seperti asinan, kari, pure, selai, sari buah, minuman ringan, tepung, keripik dan manisan.

Ketahanan Pangan

Masalah Ketahanan Pangan
Dalam beberapa tahun terakhir, masalah ketahanan pangan menjadi isu penting di Indonesia, lebih-lebih bila dikaitkan bencana alam. Seolah bencana alam merupakan sumber penyebab kerapuhan pangan. Bagaimanapun, bencana alam merupakan salah satu sumber kerentanan pangan. Tetapi, bencana jelas bukan yang paling mencemaskan. Setiap bencana alam, seberapa pun besar dan massifnya, tetap tidak pernah terjadi secara serentak dan di semua tempat sekaligus. Dengan demikian, dampak bencana alam terhadap ketahanan pangan bersifat insidental, temporer, dan lokatif. Sampai di sini, justru ada faktor lain yang jauh lebih sistematis sebagai mata air kerentanan pangan, yang celakanya tidak diperhatikan dan diantisipasi secara memadai. Sumber itu tidak lain adalah perubahan kelembagaan (aturan main). Perubahan kelembagaan di sini dimaknai sebagai pergeseran pola interaksi antarpelaku dalam mendesain aktivitas ekonomi.
Segitiga perubahan Dalam kaitan dengan ketahanan pangan, pembicaraan harus dikaitkan dengan masalah pembangunan pedesaan dan sektor pertanian. Pada titik inilah dijumpai realitas bahwa kelembagaan di pedesaan setidaknya dipangku oleh tiga pilar, yaitu kelembagaan penguasaan tanah, kelembagaan hubungan kerja, dan kelembagaan perkreditan. Tanah/lahan masih merupakan aset terpenting bagi penduduk pedesaan untuk menggerakkan kegiatan produksi. Sedangkan relasi kerja akan menentukan ropors nisbah ekonomi yang akan dibagi kepada para pelaku ekonomi di pedesaan.
Terakhir, aspek perkreditan/pembiayaan berperan amat penting sebagai pemicu kegiatan ekonomi di pedesaan karena biasanya di wilayah itu ketersediaan modal amat terbatas. Ketiga pilar perubahan kelembagaan itu akan amat menentukan keputusan pelaku di sektor pertanian (baca: petani) sehingga turut memengaruhi derajat ketahanan pangan. Sayang, perubahan kelembagaan di pedesaan mengarah kepada situasi yang menciptakan disinsentif bagi petani untuk meningkatkan produksi. Kepemilikan tanah sebagai pilar terpenting kegiatan produksi semakin lama kian tidak ramah dengan kebutuhan sektor pertanian. Rata-rata kepemilikan lahan rumah tangga petani semakin menciut, bahkan kini di Jawa rata-rata kepemilikan lahan itu hanya 0,25 hektar.
Penciutan kepemilikan lahan itu bisa bersumber dari pola warisan yang membuat lahan terfragmentasi, infiltrasi sektor industri/jasa yang lapar lahan, dan kebijakan pemerintah yang meninggalkan sector pertanian. Menurut BPS dan BPN (Badan Pertanahan Nasional), setiap lima tahun konversi lahan pertanian untuk pemanfaatan lain (industri, jasa, permukiman) mencapai 106.000 hektar. Akumulasi atas soal itu mengakibatkan produksi komoditas pertanian merosot meski mungkin saja produktivitas per hektar mengalami kenaikan, seperti komoditas beras dan jagung. Selanjutnya, serangan perubahan datang dari kelembagaan hubungan kerja. Dulu, kelembagaan relasi kerja di sektor pertanian mengandaikan pembagian risiko maupun nisbah ekonomi antar pelaku.Misalnya, konsep maro atau mertelu antara pemilik lahan dan petani penggarap merupakan jalan tengah antara kelangkaan modal dan risiko tinggi kegiatan produksi di sektor pertanian.
Desain kelembagaan semacam itu jika terjadi gagal panen, beban bisa dibagi di antara pelaku. Sebaliknya, bila panen berhasil, masing-masing pihak akan mendapat bagian. Masalahnya, kelembagaan hubungan kerja seperti itu sudah ditinggalkan, di mana yang kini tersedia hanya hubungan antara pemilik lahan dan penyewa (jika pemilik lahan tidak mengusahakan sendiri). Pada situasi ini, petani tunalahan enggan menyewa karena biayanya amat mahal, sementara pemilik lahan kurang berminat untuk mengolah tanah sendiri akibat insentif laba yang amat tipis. Desain perubahan kelembagaan Selain itu, salah satu penyebab penting kerawanan kegiatan produksi di sektor pertanian adalah perubahan kelembagaan perkreditan. Kebijakan peningkatan akses kredit yang dilakukan secara gencar oleh pemerintah sejak dekade 1980-an telah menyebabkan penetrasi lembaga keuangan formal dan semiformal (bank, koperasi, dan lain-lain) yang intensif di wilayah pedesaan. Kenyataannya, kebijakan itu bukannya mendekatkan petani (kecil) kepada sumber dana, tetapi justru kian menjauhkan. Lembaga keuangan formal itu tidak bisa dijangkau petani (justru ketika dari segi fisik jarak di antara mereka amat dekat) karena persyaratan agunan. Akibatnya, lembaga keuangan itu Cuma dapat diakses petani skala besar.
Celakanya, petani kecil juga sulit mengambil kredit dari lembaga keuangan informal (rentenir) karena keberadaannya sedikit demi sedikit tergerus oleh penetrasi lembaga keuangan formal. Inilah titik yang amat mematikan daya hidup petani kecil. Segitiga perubahan kelembagaan itu dengan jelas mendeskripsikan betapa secara sistematis perubahan kelembagaan yang diintroduksi pemerintah menjadi penyebab kemerosotan sektor pertanian.
Dengan demikian, dari perspektif produksi, perubahan kelembagaan itu akan menjadi sumbu peledak persoalan ketahanan pangan di masa mendatang. Karena itu, secara hati-hati dan matang pemerintah kembali diminta mendesain atau menggeser perubahan kelembagaan di wilayah pedesaan dan sektor pertanian dengan mengandaikan derajat kemanfaatan yang lebih besar bagi para pelaku, khususnya petani kecil. Sebagian isu perubahan kelembagaan itu sudah dimengerti secara baik oleh pemerintah, yakni reforma agraria. Selain itu, pemerintah harus terus bergerak dengan mengupayakan desain hubungan kerja dan akses kredit yang lebih adil di antara pelaku di sektor pertanian. Tanpa kesadaran semacam ini, isu ketahanan pangan hanya akan berhenti menjadi rintihan lirih.

Ahmad Erani Yustika Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FE Unibraw;

Pembangunan Pertanian Di Pedesaan

Pembangunan Pertanian Dan Pedesaan Indonesia”
Tema Pembangunan Pertanian dan Pedesaan di Indonesia menjadi sebuah diskursus menarik yang melibatkan kalangan akademisi, pemerintah dan CSO’s (Civil Society Organizations). Kalangan yang terlibat tidak hanya berasal dari dalam negeri akan tetapi juga beberapa kalangan berasal dari luar negeri yang memiliki ketertarikan terhadap konstelasi diskursus di Indonesia. Konteks diskursus yang terbangun pun beragam bentuknya mulai dalam bentuk diskusi publik dalam forum-forum seminar hingga diskusi pada tingkat wacana di berbagai media, baik elektronik maupun cetak.
Permasalahannya adalah konstelasi diskursus yang begitu masif pada tataran realitas dalam banyak hal tidak sampai pada ranah teoritisasi, konseptualisasi atau bahkan operasionalisasi praksis pelaksanaan pembangunan pertanian dan pedesaan yang baik. Pembangunan pertanian dan pedesaan seolah-olah berjalan ditempat dengan tidak memberikan dimensi perubahan yang signifikan terhadap masyarakat petani di pedesaan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan masih tingginya tingkat kemiskinan masyarakat, utamanya masyarakat petani di pedesaan. Di sisi lain, realitas menunjukkan terjadinya kesenjangan besar antara kawasan perkoataan dan pedesaan dalam berbagai aspek seperti sosial, ekonomi, politik, dan infrastruktur.
Permasalahan pembangunan pertanian dan pedesaan pada dasarnya bersifat lintas sektoral, baik secara lembaga maupun konteks keilmuwan. Namun demikian pada ranah keilmuwan, entitas akademis yang senantiasa dikaitkan dengan permasalahan pembangunan pertanian dan pedesaan adalah institusi pendidikan yang memiliki keterkaitan dengan masyarakat pedesaan dan pertanian secara luas. IPB merupakan salah satu entitas akademis yang senantiasa dikaitkan dengan permasalahan pembangunan pertanian dan pedesaan. Hal ini disebabkan IPB menjadi salah satu institusi akademis terbesar di Indonesia yang memilih basis pertanian dan pedesaan sebagai orientasi akademisnya. Oleh karena itu wajar ketika permasalahan stagnasi pembangunan pertanian dan pedesaan dikaitkan dengan keberadaan IPB.
Realitas tersebut memberikan sebuah proses pembelajaran penting bahwa harapan masyarakat luas terhadap keberadaan IPB dalam konteks pembangunan pertanian dan pedesaan sangat besar. Pada saat yang sama kita melihat sebuah kecenderungan bahwa tradisi kritis berkaitan dengan isu-isu pembangunan pertanian dan pedesaan semakin berkurang di tingkat IPB. Forum-forum diskusi dan seminar lebih banyak mengetengahkan isu-isu update yang terkadang tidak bersinggungan sama sekali dengan pembangunan pertanian dan pedesaan. Kondisi ini tidak hanya terjadi di tingkat sarjana saja akan tetapi juga pada tingkat pascasarjana. Padahal potensi untuk memberikan telaah kritis terhadap konteks pembangunan pertanian dan pedesaan Indonesia saat ini dari sisi konseptualisasi akademis sangat besar. Paling tidak secara umum setiap mayor studi pascasarjana di IPB memiliki ruang keterkaitan dengan isu pembangunan pertanian dan pedesaan.
Oleh karena itu, dalam rangka menumbuhkan peran strategis IPB dalam diskursus pembangunan pertanian dan pedesaan, utamanya mayor-mayor pascasarjana IPB, maka Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB (PSP3) akan menyelenggarakan diskusi kritis secara rutin yang melibatkan kalangan mahasiswa pascasarjana IPB dari berbagai mayor. Hal ini dinilai sebagai sesuatu yang penting dan strategis tidak hanya dalam rangka mentradisikan diskusi kritis di kalangan mahasiswa akan tetapi juga dapat dijadikan sebagai arena atau ruang untuk menyusun agenda-agenda riset strategis berkaitan dengan diskursus pembangunan pertanian dan pedesaan di Indonesia.

Daftar Pustaka

Supriyadi Anton,2008. Pembangunan Pertanian Dan Pedesaan Indonesia Konseptualisasi dan implementasi. Pusat Studi Pembangunan Pertanian Dan Pedesaan, IPB.

Penyuluhan Pertanian

Cara-Cara Baru Yang Mendukung Dalam Penyuluhan Pertanian
Mendukung cara-cara baru dalam penyuluhan pertanian. Seperti halnya sistim penyuluhan di negara-negara lainnya, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam pengembangan mekanisme institusional yang efektif dalam menyalurkan teknologi yang sesuai bagi produsen berskala kecil. Walaupun pengalaman dalam pelayanan bantuan pertanian masih sangat minim, bukti-bukti kuat yang mendukung manfaat desentralisasi penyuluhan terus bertambah, termasuk yang melibatkan pihak swasta maupun masyarakat umum. Serangkaian debat dan ekperimen pengelolaan yang positif telah diadakan. Termasuk didalamnya pergeseran ke metode partisipasi, penyaluran input dan teknologi sampai dengan pembagian pasar dan awal informasi serta teknologi. Terlihat pula adanya perluasan pelayanan yang dikelola secara terpusat sampai pelayanan yang didesentralisasi, serta pergeseran ke arah privatisasi penyuluhan. Privatisasi pelayanan penyuluhan akan memainkan peranan lebih penting di sub-sektor lahan kering penghasil pertanian yang mendatangkan uang di daerah timur Indonesia, serta produksi komoditas ekspor yang lebih didukung oleh sektor swasta. Staf penyuluhan umum saat ini bertanggung jawab kepada pemerintahan propinsi yang sekarang bekerja berdasarkan 2 model:
1) servis penyuluhan umum dibawah suatu organisasi perwakilan,
2) kapasitas penyuluhan yang dipilah-pilah ke beberapa badan yang berorientasi ke produk dan independent.
Model yang pertama didukung oleh Proyek Desentralisasi Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan (DAFEP) dengan dana dari Bank Dunia, akan tetapi kurang dari sepertiga pemerintahan propinsi yang memilih model tersebut sampai saat ini. ingkat kualifikasi pendidikan untuk penyuluh-penyuluh public sedang ditingkatkan, tetapi tampaknya kompensasi jauh menurun sejak adanya desentralisasi, dengan turunnya jumlah personel berkualifikasi yang mencari lapangan pekerjaan di tempat lain. Iklim politik dewasa ini di Indonesia juga berperan serta dalam penyediaan lingkungan yang kondusif bagi serangkaian organisasi produsen pedesaan (RPOs) dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Pemerintah, khususnya pemerintah setempat, terus mencari jalan untuk menjalin kerja sama dengan organisasi-organisasi tersebut, tetapi juga menghadapi kesulitan, karena cepatnya perubahan yang terjadi di dalam organisasi berorientasi keanggotaan tersebut. Untuk semua inisiatif diperlukan cara-cara untuk menentukan hubungan mana yang lebih baik antara penelitian pertanian dan penyuluhan; pemisahan fungsi di dalam organisasi di Departemen Pertanian (antara IAARD dan AAHRD) telah menghambat usaha dalam memusatkan perhatian atas berbagai masalah yang diahadapi petani dan juga menentukan agenda penelitian, serta penyebaran hasil penelitian yang efektif. Proposal Pengerjaan Petani melalui proyek Teknologi dan Informasi Pertanian (FEATI), yang dikembangkan oleh Departemen Pertanian dan didukung oleh Bank, menjawab serangkaian masalah-masalah di atas, dan akan bertujuan untuk menggiatkan penelitian pertanian dan penyuluhan, dan dengan demikian, memperkokoh hubungan antara agribisnis dan komunitas pertanian. Mendukung pertumbuhan ICT. Inisiatif untuk mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) di daerah rural membuka kesempatan bagi penyaluran informasi ke komunitas pedesaan, memperbaiki hubungan antar penelitian dan penyuluhan, serta mendukung pengembangan daerah pedesaan. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman-pengalaman di negara lain. Contohnya, India telah melalui proses pengembangan inisiatif informasi dan komunikasi di daerah pedesaan beberapa tahun terakhir.
Berbagai macam model, didukung baik oleh sektor umum maupun swasta, telah diuji-coba dengan sukses. Misalnya adalah satu model dari ITC, perusahaan swasta besar, yaitu e-choupal initiative, adalah intervensi informasi teknologi terbesar yang dimiliki suatu perusahaan di daerah pedesaan India. Dengan menyampaikan informasi secara langsung dan pengetahuan yang disesuaikan dengan kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan petani dalam membuat keputusan, e-choupal membantu menyelaraskan antara hasil pertanian dan kebutuhan pasar, serta menuju tercapainya perbaikan kualitas, produktifitas, dan meningkatkan pendeteksian harga. Dimulai tahun 2000, e-choupal sekarang ini telah mencakup 6 negara bagian, 25.000 desa, dan melibatkan 2,5 juta petani. Di dalam 10 tahun kedepan, ITC memperkirakan akan dapat mencapai 15 negara bagian dengan lebih dari 100.000 desa (1/6 dari total desa-desa di India) dan membantu 10 juta petani. Tantangan yang dihadapi dalam mengembangan ICT di India sama dengan di Indonesia - jaringan yang buruk, infrastruktur rural yang lemah dan kapasitas sumber daya manusia yang rendah. Akan tetapi, inisiatif ICT di daerah pedesaan telah melambung diIndia dalam kurun waktu 5-8 tahun terakhir ini. Kios di daerah pedesaan berfungsi sebagai pusat komunikasi, pusat pelatihan virtual, pusat bantuan untuk pengusaha di daerah pedesaan, tempat perdagangan, pusat layanan finansial dan asuransi, dan lain-lain. Proyek-proyek ini memberikan pengaruh penting untuk kawula muda, wanita dan anak-anak secara tidak langsung. Dengan adanya desentralisasi dan lingkungan politik serta institutional yang baru di Indonesia, kemungkinan pengembangan ICT di Indonesia untuk mendukung pembangunan daerah pedesaan sangatlah besar.

permasalahan dunia pertanian

Permasalahan Dunia Pertanian
Pertanian di Indonesia sedang berada di persimpangan jalan. Sebagai penunjang kehidupan berjuta-juta masyarakat Indonesia, sektor pertanian memerlukan pertumbuhan ekonomi yang kukuh dan pesat. Sektor ini juga perlu menjadi salah satu komponen utama dalam program dan strategi pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Di masa lampau, pertanian Indonesia telah mencapai hasil yang baik dan memberikan kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk menciptakan lapanga pekerjaan dan pengurangan kemiskinan secara drastis.
Hal ini dicapai dengan memusatkan perhatian pada bahan-bahan pokok seperti beras, jagung, gula, dan kacang kedelai. Akan tetapi, dengan adanya penurunan tajam dalam hasil produktifitas panen dari hampir seluruh jenis bahan pokok, ditambah mayoritas petani yang bekerja di sawah kurang dari setengah hektar, aktifitas pertanian kehilangan potensi untuk menciptakan tambahan lapangan pekerjaan dan peningkatan penghasilan. Walapun telah ada pergeseran menuju bentuk pertanian dengan nilai tambah yang tinggi, pengaruh diversifikasi tetap terbatas hanya pada daerah dan komoditas tertentu di dalam setiap sub-sektor.
Pengalaman negara tetangga menekankan pentingnya dukungan dalam proses pergeseran tersebut.Sebagai contoh, di pertengahan tahun 1980-an sewaktu Indonesia mencapai swasembada beras, 41% dari semua lahan pertanian ditanami padi, sementara saat ini hanya 38%; suatu perubahan yang tidak terlalu besar dalam periode15 tahun. Sebaliknya, penanaman padi dari total panen di Malaysia berkurang setengahnya dari 25% di tahun 1972 menjadi 13% di 1998. Selain itu seperti tercatat dalam hasil studi baru-baru ini, ranting pemilik usaha kecil/ pertanian industrial, hortikultura, perikanan, dan peternakan, yang sekarang ini berkisar 54% dari semua hasil produksi pertanian, kemungkinan besar akan berkembang menjadi 80% dari pertumbuhan hasil agraris di masa yang akan datang. Panen beras tetap memegang peranan penting dengan nilai sekitar29% dari nilai panen agraris. Tetapi meskipun disertai dengan tingkat Partumbuhan hasil yang tinggi, panen beras tidak akan dapat mencapai lebih dari 10% nilai peningkatan pertumbuhan hasil.

Perkembangan OPT

Perkembangan Serangan Opt Saat Ini
Pada kondisi ini hama-penyakit yang dulunya penting menjadi makin merusak, atau tingkat kerusakannya menjadi lebih besar. Contoh dari kasus ini adalah makin meningkatnya populasi dan kerusakan hama Thrips sp. pada tanaman cabai. Pada tahun kemarau 2006 Thrips menimbulkan kerugian yang besar pada usaha tani cabai di Tegal dan Brebes. Pada saat itu populasi sangat tinggi dan kerusakan berat, dan dilapangan tidak ada satu pestisida sintetik pun yang efektif mengendalikannya Pada tiga tahun terakhir ini menurut pengamatan penulis dan juga Laporan Safari Gotong Royong Nastari-Klinik Tanaman IPB (2007) serangan Thrips sp. Makin berat pada berbagai daerah pertanaman cabai seperti Brebes, Tegal, Pati, Klaten, Magelang dan Wonogiri. Thrips lebih berkembang pada musim kemarau, akan berkembang bila kemaraunya makin kering dan suhu rata-rata makin panas. Sebagai pembanding Thrips palmi pada terong di Taiwan mempunyai suhu optimum untuk perkembangan populasi pada 25 – 30º C (Chen dan Huang, 2004). Selain itu serangan antraknosa cabai (Colletotrichum sp.) pada tahun-tahun terakhir ini juga makin berat.
Cendawan fitopatogen ini berkembang pada musim hujan dan suhu yang hangat. Pengamatan penulis juga menunjukkan bahwa ekspresi gejala antraknosa cabai tidak hanya menimbulkan busuk pada buah tetapi juga mati ranting, sekali lagi menggambarkan makin beratnya penyakit ini. Penelitian dalam ruang terkendali di Australia menunjukkan bahwa peningkatan kadar CO2 dari 350 ppm menjadi 700 ppm meningkatkan jumlah bercak dan keparahan penyakit antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) pada Stylosanthes (Chakraborty et al. 2002). Apakah peningkatan antraknosa di Indonesia juga dipengaruhi peningkatan kadar CO2, masih perlu diteliti lebih lanjut.
Hama/Penyakit yang sebelumnya dianggap penyakit hama/penyakit minor berubah menjadi hama/penyakit penting. Contoh dari tipe perobahan ini adalah penggerek padi merah jambu (Sesamia inferens). Sebelumnya dinyatakan bahwa keberadaan penggerek batang merah jambu tidak banyak bila dibanding penggerek batang lainnya yaitu pengerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas), dan penggerek batang padi putih (Scirpophaga innnotata). Pengamatan pada bulan April-Mei 2007 disejumlah tempat di Jawa yaitu Indramayu, Magelang, Semarang, Boyolali,Kulonprogo, dan Ciamis menunjukkan dominansi penggerek merah jambu dalam komunitas penggerek meningkat (Nastari Bogor dan Klinik Tanaman IPB, 2007). Kalshoven (1981) menyatakan bahwa penggerek merah jambu banyak berkembang didaerah-daerah kering yang mempunyai iklim kemarau yang jelas. Masih menjadi pertanyaan apakah peningkatan dominansi penggerek merah jambu berkaitan dengan musim kemarau yang lebih panjang. Pada musim hujan 2007 Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur mempunyai daerah kekeringan terluas dan melebihi rata-rata 5 tahun terakhir

Antisipasi Perubahan Iklim

Antisipasi Perkembangan OPT Dalam Kaitannya Dengan Perubahan Iklim
Fakta di atas menunjukkan indikasi kuat tentang kaitan perubahan iklim sperti peningkatan suhu dengan masalah hama dan penyakit di Indonesia. Namun demikian untuk pemahaman masalah secara komprehensif perlu dilakukan kajian yang khusus dampak iklim terhadap perubahan hama dan penyakit sehingga dapat dirumuskan langkah antisipasi yang tepat baik oleh pemerintah, maupun masyarakat.
Pada kondisi ini hama-penyakit yang dulunya penting menjadi makin merusak, atau tingkat kerusakannya menjadi lebih besar. Contoh dari kasus ini adalah makin meningkatnya populasi dan kerusakan hama Thrips sp. pada tanaman cabai. Pada tahun kemarau 2006 Thrips menimbulkan kerugian yang besar pada usaha tani cabai di Tegal dan Brebes. Pada saat itu populasi sangat tinggi dan kerusakan berat, dan dilapangan tidak ada satu pestisida sintetik pun yang efektif mengendalikannya Pada tiga tahun terakhir ini menurut pengamatan penulis dan juga Laporan Safari Gotong Royong Nastari-Klinik Tanaman IPB (2007) serangan Thrips sp. Makin berat pada berbagai daerah pertanaman cabai seperti Brebes, Tegal, Pati, Klaten, Magelang dan Wonogiri. Thrips lebih berkembang pada musim kemarau, akan berkembang bila kemaraunya makin kering dan suhu rata-rata makin panas. Sebagai pembanding Thrips palmi pada terong di Taiwan mempunyai suhu optimum untuk perkembangan populasi pada 25 – 30 º C (Chen dan Huang, 2004).
Menghadapi perubahan iklim dalam kaitan dengan perkembangan hama dan penyakit tanaman diperlukan beberapa langkah yang sesuai. Kajian komperehensif dampak perubahan iklim terhadap hama dan penyakit tanaman perlu dilakukan untuk menentukan langkah yang tepat bagi pemerintah maupun petani. Selain itu diperlukan peningkatan pemahaman agroekosistem oleh petani sehingga lebih jeli mengamati dan mensikapi perubahan yang ada. Beberapa pengetahuan pribumi (indigenous knowledge) yang didasari oleh pengaturan masa tanam seperti pranata mangsa dalam masyarakat Jawa perlu dikaji kembali dan di rejuvenasi menghadapi perubahan yang berlangsung. Melihat masalah hama dan penyakit yang makin berat di Indonesia dari tahun ke tahun, perlu pendekatan sistem Pengendalian Hama Terpadu Biointensif (Bio-intensive IPM) yang mengoptimalkan sumberdaya hayati yang ada. Untuk itu semua, kerjasama antara petani, pemerintah (pusat-daerah), perguruan tinggi/lembaga penelitian , civil society yang riil diperlukan.

OPT

Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Organisme Pengganggu Tanaman Terhadap Tanaman Bawang Merah
Organisme penganggu tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas produksi tanaman di Indonesia baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Organisme pengganggu tanaman secara garis besar dibagi menjadi tiga yaitu hama, penyakit dan gulma. Hama menimbulkan gangguan tanaman secara fisik, dapat disebabkan oleh serangga, tungau, vertebrata, moluska. Sedangkan penyakit menimbulkan gangguan fisiologis pada tanaman, disebabkan oleh cendawan, bakteri, fitoplasma, virus, viroid, nematoda dan tumbuhan tingkat tinggi. Perkembangan hama dan penyakit sangat dipengaruhi oleh dinamika faktor iklim. Sehingga tidak heran kalau pada musim hujan dunia pertanian banyak disibukkan oleh masalah penyakit tanaman sperti penyakit kresek dan blas pada padi, antraknosa cabai dan sebagainya. Sementara pada musim kemarau banyak masalah hama penggerek batang padi, hama belalang kembara, serta thrips pada cabai.
Hama seperti mahluk hidup lainnya perkembangannya dipengaruhi oleh faktor factor iklim baik langsung maupun tidak langsung. Temperatur, kelembaban udara relatif dan foroperiodisitas berpengaruh langsung terhadap siklus hidup, keperidian, lama hidup, serta kemampuan diapause serangga. Sebagai contoh hama kutu kebul (Bemisia tabaci) mempunyai suhu optimum 32,5º C untuk pertumbuhan populasinya (Bonaro et al. 2007). Contoh yang lain adalah pertumbuhan populasi penggerek batang padi putih berbeda antara musim kemarau dan musim hujan, sementara itu panjang hari berpengaruh terhadap diapause serangga penggerek batang padi putih (Scirpophaga innotata) di Jawa (Triwidodo, 1993). Umumnya serangga-serangga hama yang kecil seperti kutu-kutuan menjadi masalah pada musim kemarau atau rumah kaca karena tidak ada terpaan air hujan. Pada percobaan dalam ruang terkontrol peningkatan kadar CO2 pada selang 389- 749μl/L meningkatkan reproduksi tungau Tetranychus urticae (Heagle et al., 2002) Pengaruh tidak langsung adalah pengaruh faktor iklim terhadap vigor dan fisiologi tanaman inang, yang akhirnya mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap hama. Temperatur berpengaruh terhadap sintesis senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid, falvonoid yang berpengaruh terhadap ketahannannya terhadap hama. Pengaruh tidak langsungnya adalah kaitannya dengan musuh alami hama baik predator, parasitoid dan patogen. Sebagai contoh adalah perkembangan populasi ulat bawang Spodoptera exigua pada bawang merah lebih tinggi pada musim kemarau, selain karena laju pertumbuhan
intrinsik juga disebabkan oleh tingkat parasitasi dan tingkat infeksi patogen yang rendah
(Hikmah, 1997).

Daftar Pustaka
Hikmah, Y. 1997. Tingkat parasitasi larva Spodoptera exigua pada musim hujan dan
musim kemarau. Skripsi. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanaian
IPB.
Bonaro, O., A Lurette,, C Vidal, J Fargues. 2007. Modelling temperature-dependent
bionomics of Bemisia tabaci (Q-biotype) Physiological Entomology,32: 50-55